Lewat butanya malam...Dulu telah kukirim seuntai kabar,
diantara rinai yang mengaduh dari kursi beranda...dari balik punggungmu
Aku pernah bertanya,,,jejak siapa yang berserakan dan melumpuri tepian
sajadah kasih dan imanku
Dan,,,dengarkanlah senandung batu di halaman,,,
tiada letih mereka mensyairkan dosa
dan juga tentang engkau wahai perempuanku
yang dalam diam mu ingin menikmati mati ku
Rahasia...jangan engkau lumuri hanyir disetiap
dengus mu,dan kemudian melindap ke udara
bersama bayang durjana yang menahan tawa
Wahai perempuanku,,,jangan lagi
engkau tumbali riwayatmu, cukuplah
jejakmu sampai disitu,,,cukupkanlah
lakumu yang menari diatas pusaraku
sebelum matiku bersama cibir yang
mengias di rona wajah surgamu
Semula,,,kitalah yang mendiami rindangnya pohon rindu,
hingga sang waktu melumatmu dalam pusar debu, dan
takdir kita hanya menjadi sekeping
jemu yang ternisan dalam kubur batu
Kini...dengarkanlah,,, wahai engkau
perempuan yang mendandani wajah sorgamu
Telah ku rangkai tashbih dzikirku diatas merahnya
sajadah malamku bersama maafku untuk setiap
ronggengmu diatas diatas makamku sebelum matiku
Catatan Tua dari "Bukit Padang Ilalang"
Ludwig Caspar - 15 Oktober 2012