jerit tangis bayi membahana
bagai kidung sesalan dihadirkan di dunia
ladang menggunungnya samudera noda dosa
hamparan pintalan mega prilaku hina durjana
awal episode panggung sandiwara manusia
Hawa tersenyum dalam sakit lelahnya raga
Adam menyambut dengan peluk cium gembira
mendendangkan kidung kudangan pelangi jingga
diiringi riuh tarian tetangga dengan bait-bait mantera
Selembar kertas para winangsit bertutur syahdu
adalah adanya aku dan kamu
buah dari gelombang nafsu yang menggebu
dalam desahan, rintihan, pekikan, peluh, sipu malu
gelinjangan, tetesan keringat dan kejangnya ayah ibu
Sang waktu berlari manapaki tebing-tebing asa
sampai saatnya bayi menjelma dewasa
dengan tangan melukis indahnya alam pada maya
tuk dipersembahkan pada yang Maha Kuasa
bersujud bersimpuh dalam hangat pelukan-NYA
nafsu bersamadi bergelora di bilik raga terdalam
kala waktu nafsu mengepakkan sayapnya sendi-sendi rasa
mengindahkan pasangan dengan pelangi di depan mata
Nafsu bagaikan samadinya ulat dalam kepompong berisi
Darinya terlahir kupu-kupu indah dipandang mata sejukkan hati
Karena nafsu dirajut dalam samadi "syar’i"
Akan nafsu liar lari tak terkendali
melayang mengendus-endus jauh dari "Kalam Suci"
kan terlihat bebal, bodoh, buta, bisu dan tuli
yang akan menentang-NYA
memusuhi-NYA
mengingkari-NYA
Nafsu bagai kereta kencana bagi kusir berbudi
menghantar ke bilik-bilik cakrawala tuk memuji-NYA
nafsu bagai kuda liar tuk penunggang lalai
mempermainkannya, menjatuhkannya, memperosokkannya.
Balu Seta - 30 April 2011